Cengkareng

From   
Masa awal kejayaan VOC, ketika perusahaan dagang Hindia Timur itu menjarah tanah-tanah yang berlokasi jauh dari markasnya di Sunda Kelapa sepanjang paruh kedua abad ke-17. Tanah-tanah sekujur Ommelanden -- kawasan luar kota Batavia lama -- diukur, dipetakan, diberi nama, dan dijual ke investor. Pejabat VOC membeli tanah-tanah itu dengan harga murah sebagai tindakan spekulasi. Pada saat itu, perang VOC - Banten masih berlangsung. Ommelanden bukan kawasan aman untuk investor bisnis perkebunan. Dedrick Durven, kelak menjadi gubernur jenderal VOC, tercatat sebagai pemilik pertama tanah partikelir Cengkareng.

Orang-orang Belanda memiliki tradisi memberi nama sesuai karakteristik permukaan bumi. Jika terdapat permukiman atas tanah itu, orang Belanda akan mempertimbangkan kearifan lokal sebelum menentukan nama. Jika tidak, penamaan akan ditentukan oleh tumbuhan dominan di atas tanah itu, atau karakteristik lain yang khas.

Penamaan Cengkareng untuk tanah partikelir diperkirakan terjadi pada dua dekade terakhir abad ke-17, ketika landmeeter memasuki sekujur wilayah barat Batavia dan memetakannya. Pemetaan Cengkareng diperkirakan bersamaan dengan pemetaan Kalideres, Rawa Buaya, Tegal Alur, Kapuk, Kamal, Tanjung Burung, sampai ke tepi Sungai Cisadane. Setelah pemetaan, landmeeter akan memberi nama setiap bidang tanah dan menuliskannya di peta untuk keperluan pendataan.

Cengkareng diperkirakan berasal dari Tjengkarang atau Tjengkaring, tanaman dengan nama latin Erythrina corallodendron. Tjengkarang masih satu keluarga dengan tumbuhan Dadap atau cangkring (Erythrina variegate) dan tanaman hias Dadap Merah (Erythrina cristagali).

Sulit membuktikan asumsi ini karena tidak ada bukti tanaman Tjengkarang yang tersisa. Namun menggunakan penelitian Prof. Leonard Blusse mengenai industri gula Ommelanden, kita bisa memperkirakan bagaimana tanaman Tjengkarang lenyap dari Cengkareng.

Pada tahun 1732, saat Gubernur Jenderal Dederiek Durven memperdalam Kali Mookervaart dari Cengkareng ke Pesing, tanah partikelir Cengkareng disewa oleh Nie Keng Ko selama 27 tahun, dengan harga sewa 2.000 rijksdalder per tahun. Keng Ko mengubah Cengkareng menjadi kawasan industri gula, dengan suikermolen (penggilingan tebu tenaga sapi) tersebar di wilayahnya. Keng Ko juga menyewakan sebagian tanah Cengkareng ke pengusaha gula asal Bekasi yang sedang kesulitan bahan bakar untuk memasak gula. Cengkareng sepanjang 1730-an hingga 1750-an adalah kawasan industri gula. Pada periode itulah diperkirakan tanaman Tjengkareng musnah karena ditebang untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar.

Industri gula di Cengkareng relatif berhenti setelah tidak ada lagi tanaman yang dapat ditebang untuk menjadi kayu bakar. Kayu bakar yang didatangkan dari wilayah lain menyebabkan biaya produksi menjadi sangat mahal dan mengakibatkan harga jual gula sulit bersaing. Keng Ko diperkirakan meninggalkan Cengkareng dan menutup suikermolen-nya sekitar tahun 1750.

Kemudian, Hendrik van Stocktum, pemilik tanah partikelir Cengkareng selanjutnya, mendatangkan banyak pekerja dari luar untuk mengubah wilayah itu menjadi perkebunan. Ia mencetak sawah, menanam kelapa dan tanaman produktif lainnya.

Ketika wabah influenza mematikan menyebar di Batavia, Van Stocktum memanggil arsitek Michiel Romp untuk merancang landhuis (rumah pedesaan) di tengah Cengkareng. Bangunan itu menjadi ikon daerah. Orang Belanda memberi nama rumah itu Landhuis Tjengkareng.

Pada tahun 1931, Pemerintah Hindia Belanda membeli tanah partikelir Cengkareng, memecah tanah-tanah itu dan menjualnya kembali ke sejumlah investor Tionghoa. Lie Kian Tek tercatat sebagai pembeli bidang tanah Cengkareng, dengan Landhuis Tjengkareng di atasnya.

Dalam "In En Om Batavia", sebuah majalah gaya hidup di Hindia Belanda saat itu, seorang penulis melaporkan kunjungannya ke sejumlah landhuis di Ommelanden, termasuk Landhuis Tjengkareng. Penulis itu menyebutkan bahwa Landhuis Tjengkareng adalah bangunan bergaya rumah-rumah bangsawan Prancis era Raja Louis XV. Lie Kian Tek, selaku pemilik bangunan pada saat itu, mempertahankan keaslian seluruh bagian bangunan. Ia juga membuka toko roti di pinggir Kali Mokervaart, tepi Jalan Daan Mogot saat ini.

Lie Kian Tek diperkirakan meninggalkan bangunan itu sebelum kedatangan Jepang.

Setahun setelah Jepang hengkang dan Belanda berusaha kembali menjajah, KNIL menyerbu Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pimpinan Letkol Singgih di Pesing dan berhasil membunuh 70 personel TKR. Sisa pasukan TKR tetap melanjutkan pertempuran di Basmol, Kampung Bojong dan Rawa Buaya, hingga bertahan habis-habisan di Cengkareng. Di sini, Letkol Singgih mendapat bantuan dari Korps Kepolisian Banten pimpinan Kapten Ari Amangku. TKR dan pasukan Kapten Ari Amangku kalah persenjataan dan terdesak hebat di Landhuis Tjengkareng. KNIL menggunakan artileri berat untuk menggempur pertahanan TKR di bangunan itu. Hingga akhirnya, Landhuis Tjengkareng rusak berat, meskipun masih dapat berdiri sampai empat puluh tahun kemudian.

Di penghujung 1980-an, bersamaan dengan pembangunan Jalan Outer Ring Road, Landhuis Tjengkareng tergusur. Di atasnya berdiri pertokoan modern.
—Arjuno Welirang (21 Januari 2023) "Asal Usul Nama Cengkareng" kedaipena.com

Referensi

  1. Teguh Setiawan, Amin Suciady (2022) "Toponimi Jakarta Barat" Jakarta : Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Barat