PLTP Kamojang

From   
1918, JB Van Dijk, guru di HBS Bandung, menulis gagasannya melalui tulisan "Krachtbronnen in Italie" (Kekuasaan di Italia) yang terbit di majalah "Koloniale Studien". Keberhasilan Italia memanfaatkan panas bumi untuk energi listrik di Larnderello, Italia Tengah, menginspirasi Van Dijk untuk mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan hal yang sama. Namun ide itu ditanggapi dingin oleh pemerintah. Bahkan, berbagai pihak mengkritik tulisannya itu karena dianggap tidak masuk akal.

Hingga akhirnya tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda menggelontorkan dana untuk melakukan pengeboran di lapangan Kamojang. The Netherland East Indies Volcanological Survey, perusahaan milik Hindia Belanda, ditugasi untuk melakukan pengeboran.

Selanjutnya, bersama dengan perusahaan asal Selandia Baru, Geothermal Energy New Zealand Ltd, eksplorasi pun dimulai.

Hingga akhirnya PLTP Kamojang Unit 130 MW berhasil beroperasi pada tahun 1982. Dalam lima tahun kemudian, PLTP Kamojang Unit 2 dan Unit 3 pun beroperasi.

PLTP Kamojang, dengan kapasitas daya 140MW, terintegrasi bersama PLTP Darajat 55 MW dan PLTP Gunung Salak 180 MW dalam PLTP Kamojang Power Generaiton O&M Services Unit (POMU) 375 MW. Dengan 4 unit PLTP dari PLTP Darajat dan PLTP Gunung Salak, PLTP Kamojang POMU kini mengelola total 7 unit PLTP.
— CNBC Indonesia (July 24, 2021) "39 Tahun PLTP Kamojang, Tetap Andal Hasilkan Energi Bersih"
Kegiatan eksplorasi panas bumi di kawasan Kamojang sesungguhnya sudah dilakukan sejak 1926. Saat itu, pemerintah kolonial mendatangkan para insinyur dan peneliti dari Belanda untuk mengebor sejumlah sumur panas bumi di Kamojang.

Kegiatan pengeboran sumur panas bumi oleh Pemerintah Hindia Belanda ini terhenti pada 1928.

Kegiatan eksplorasi yang ditinggalkan Belanda ini baru dilanjutkan kembali setelah pemerintah RI memberikan hak eksplorasi kepada Pertamina di Area Kamojang pada tahun 1971. Bersamaan dengan itu, dilakukan pula kerja sama eksplorasi geotermal antara pemerintah Indonesia dengan Selandia Baru.

Pada tahun 1978, pengeboran sumur oleh Pertamina sukses menghasilkan uap panas bumi yang mampu memenuhi unsur keekonomian penggerakan turbin.

PLTP Kamojang Unit 1 dengan kapasitas 30 megawatt mulai beroperasi pada 1983. Setelah itu, pengembangan PLTP Kamojang pun terus berlanjut hingga Unit 5 yang mulai beroperasi pada 2015.

Saat ini PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) bertanggung jawab mengoperasikan PLTP Kamojang Unit 4 (60 MW) dan 5 (35 MW). Sedangkan PLTP Kamojang Unit 1, 2 dan 3 (total 140 MW) berada di bawah kendali PT Indonesia Power.

Total kapasitas terpasang pembangkit panas bumi di area Kamojang mencapai 235 MW. Dari kapasitas tersebut, area Kamojang ini setidaknya menyuplai asupan listrik ke 260 ribu rumah. Listrik dari PLTP Kamojang terhubung dengan sistem interkoneksi kelistrikan Jawa - Madura - Bali.

Untuk mempertahankan kapasitas pasokan uap pembangkit Kamojang, PGE menjadwalkan pengeboran sumur baru. Hal itu karena ada kecenderunagn penurunan produksi di lapangan panas bumi yang telah lama dibuka.

Saat ini, wilayah kerja panas bumi Kamojang memiliki 94 sumur untuk memenuhi kebutuhan uap PLTP Kamojang Unit 1 - 5. Dari 94 sumur yang ada, 59 merupakan sumur produksi, 9 merupakan sumur injeksi, 17 sumur monitoring, dan 9 sumur nonaktif (abandoned wells).
— Faisal Yunianto (Mei 22, 2023) Pembangkit geotermal Kamojang pelopor pemanfaatan energi berkelanjutan Antara
Ide awal eksplorasi panas bumi di Kamojang dicetuskan oleh ilmuwan Belanda yang bernama J. B. van Dijk pada tahun 1918. Akan tetapi, usulan tersebut tidak langsung dilaksanakan, karena banyak kendala dan pertimbangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, banyak kalangan yang meragukan ide tersebut. Sebagai contoh, B.G. Escher berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terhambatnya produksi panas bumi, yaitu letak gunung api yang terlalu tinggi dan sangat jauh dari pusat perkotaan - industri.

Pada 1925, ide untuk mengeksplorasi sumber panas bumi di Kamojang dicetuskan kembali oleh N.J.M Taverne, setelah melihat hasil-hasil yang nyata mengenai pemanfaatan panas bumi di Italia dan California. Pemerintah Hindia Belanda merealisasikannya dengan membentuk perusahaan yang bernama "The Netherland East Indies Vulcanological Survey". Perusahaan ini berhasil melakukan pengeboran lima sumur dari tahun 1925 sampai 1928. Dari kelima sumur itu, hanya sumur 3 yang berhasil menghasilkan panas bumi dan dapat dimanfaatkan.

Pada pertengahan tahun 1928, pengeboran oleh The Netherland East Indies Vulcanological Survey berhenti karena keadaan finansial pemerintah kolonal Belanda, akibat kekosongan kas negara karena korupsi, pengeluaran perang, dan krisis ekonomi dunia. Hal ini mengakibatkan kegiatan pengembangan pengeboran menjadi terhenti secara total.

Setelah Indonesia merdeka, proyek ini dilanjutkan kembali. Pada tahun 1971 hingga 1978, Pemerintah RI bekerjasama dengan Selandia Baru untuk mengadakan proyek kerjasama penelitian studi kelayakan potensi panas bumi di Indonesia. Kerjasama tersebut tertuang dalam Colombo Plan Technical Aidprogram yang dilakukan oleh New Zealand Geothermal Project dan Geological Survey of Indonesia, dengan Kamojang tercantum sebagai salah satu daerah penelitiannya.

Tidak hanya mengirimkan para ahli panas bumi, Pemerintah Selandia Baru juga memberikan 24 juta dolar untuk melakukan eksplorasi ini. Sisa dananya, sebanyak 10 juta dolar, disediakan oleh Pemerintah RI. Dana tersebut digunakan untuk pengeboran 10 sumur penyidikan, 10 sumur produksi dan 1 stasiun monoblok dengan kapasitas 0,5 MW. Stasiun monoblok tersebut diresmikan oleh Menteri Energi Prof. Dr. Subroto pada 27 November 1978. Stasiun inilah yang diljadikan langkah untuk pengembangan pemanfaatan panas bumi untuk selanjutnya.

Selanjutnya, Pemerintah menunjuk Pertamina untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi panas bumi. Pertamina membentuk Divisi Geothermal berdasarkan Keputusan Presiden No 6 tanggal 20 Maret 1973, dengan wilayah kerja terbatas pada Pulau Jawa.

Setelah kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Selandia Baru selesai, pengembangan potensi panas bumi di Kamojang dilanjutkan oleh Pertamina.

Pertamina melakukan pengeboran pertama pada tahun 1976, dengan melakukan pengeboran sumur Kamojang 11. Setelah melakukan 10 pengeboran sumur, pemerintah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang, yang berkapasitas 30 MW, pada tanggal 29 Januari 1983.

Tahap selanjutnya, unit dua dan tiga, masing-masing berkapasitas 55 MW, diresmikan pada 1988. Selama kurun waktu tahun 1974 - 1992, proyek ini telah berhasil melakukan pengeboran 52 sumur.
— Ridwan Moch Noor (2012) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang (1974-1996) Universitas Padjajaran