PLTP Kamojang: Difference between revisions

no edit summary
No edit summary
No edit summary
 
Line 26:
 
Saat ini, wilayah kerja panas bumi Kamojang memiliki 94 sumur untuk memenuhi kebutuhan uap PLTP Kamojang Unit 1 - 5. Dari 94 sumur yang ada, 59 merupakan sumur produksi, 9 merupakan sumur injeksi, 17 sumur monitoring, dan 9 sumur nonaktif (abandoned wells).||| Faisal Yunianto (Mei 22, 2023) [https://www.antaranews.com/berita/3549501/pembangkit-geotermal-kamojang-pelopor-pemanfaatan-energi-berkelanjutan Pembangkit geotermal Kamojang pelopor pemanfaatan energi berkelanjutan] Antara}}
 
{{Cquote|Ide awal eksplorasi panas bumi di Kamojang dicetuskan oleh ilmuwan Belanda yang bernama J. B. van Dijk pada tahun 1918. Akan tetapi, usulan tersebut tidak langsung dilaksanakan, karena banyak kendala dan pertimbangan dari Pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, banyak kalangan yang meragukan ide tersebut. Sebagai contoh, B.G. Escher berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat mengakibatkan terhambatnya produksi panas bumi, yaitu letak gunung api yang terlalu tinggi dan sangat jauh dari pusat perkotaan - industri.
 
Pada 1925, ide untuk mengeksplorasi sumber panas bumi di Kamojang dicetuskan kembali oleh N.J.M Taverne, setelah melihat hasil-hasil yang nyata mengenai pemanfaatan panas bumi di Italia dan California. Pemerintah Hindia Belanda merealisasikannya dengan membentuk perusahaan yang bernama "The Netherland East Indies Vulcanological Survey". Perusahaan ini berhasil melakukan pengeboran lima sumur dari tahun 1925 sampai 1928. Dari kelima sumur itu, hanya sumur 3 yang berhasil menghasilkan panas bumi dan dapat dimanfaatkan.
 
Pada pertengahan tahun 1928, pengeboran oleh The Netherland East Indies Vulcanological Survey berhenti karena keadaan finansial pemerintah kolonal Belanda, akibat kekosongan kas negara karena korupsi, pengeluaran perang, dan krisis ekonomi dunia. Hal ini mengakibatkan kegiatan pengembangan pengeboran menjadi terhenti secara total.
 
Setelah Indonesia merdeka, proyek ini dilanjutkan kembali. Pada tahun 1971 hingga 1978, Pemerintah RI bekerjasama dengan Selandia Baru untuk mengadakan proyek kerjasama penelitian studi kelayakan potensi panas bumi di Indonesia. Kerjasama tersebut tertuang dalam Colombo Plan Technical Aidprogram yang dilakukan oleh New Zealand Geothermal Project dan Geological Survey of Indonesia, dengan Kamojang tercantum sebagai salah satu daerah penelitiannya.
 
Tidak hanya mengirimkan para ahli panas bumi, Pemerintah Selandia Baru juga memberikan 24 juta dolar untuk melakukan eksplorasi ini. Sisa dananya, sebanyak 10 juta dolar, disediakan oleh Pemerintah RI. Dana tersebut digunakan untuk pengeboran 10 sumur penyidikan, 10 sumur produksi dan 1 stasiun monoblok dengan kapasitas 0,5 MW. Stasiun monoblok tersebut diresmikan oleh Menteri Energi Prof. Dr. Subroto pada 27 November 1978. Stasiun inilah yang diljadikan langkah untuk pengembangan pemanfaatan panas bumi untuk selanjutnya.
 
Selanjutnya, Pemerintah menunjuk Pertamina untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi panas bumi. Pertamina membentuk Divisi Geothermal berdasarkan Keputusan Presiden No 6 tanggal 20 Maret 1973, dengan wilayah kerja terbatas pada Pulau Jawa.
 
Setelah kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Selandia Baru selesai, pengembangan potensi panas bumi di Kamojang dilanjutkan oleh Pertamina.
 
Pertamina melakukan pengeboran pertama pada tahun 1976, dengan melakukan pengeboran sumur Kamojang 11. Setelah melakukan 10 pengeboran sumur, pemerintah meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang, yang berkapasitas 30 MW, pada tanggal 29 Januari 1983.
 
Tahap selanjutnya, unit dua dan tiga, masing-masing berkapasitas 55 MW, diresmikan pada 1988. Selama kurun waktu tahun 1974 - 1992, proyek ini telah berhasil melakukan pengeboran 52 sumur. ||| Ridwan Moch Noor (2012) [https://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/1771 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Kamojang (1974-1996)] Universitas Padjajaran}}