Pajajaran

From   

Aliansi dengan Portugis

Prof Dr. Hamka (2016) "Sejarah Umat Islam" Jakarta : Gema Insani. Hal 573 :

Kerajaan Pajajaran adalah kerajaan Hindu di Jawa Barat. Ibu kotanya bernama Pakuan. Kerajaan ini mempunyai pelabuhan dagang yang besar dan penting, yaitu Banten, Sunda Kelapa, Pontang, Cikandi, Tanggerang dan Cimanuk.

Setelah Portugis menduduki Malaka (1511) dan Pasai (1521), Pajajaran menjadi bertambah maju. Hal ini disebabkan karena pedagang Arab, Persia dan Gujarat memindahkan aktivitasnya dari Malaka dan Pasai ke pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat. Jika sebelumnya rute perdagangan mereka melalui Selat Malaka, kini mereka beralih, membelok ke Aceh Barat, lalu ke Barus, Singkel, Padang, Pariaman, Salida, dan singgah ke pelabuhan Banten yang terkenal akan ladanya.

Pada tahun 1522, Portugis mengutus utusannya ke Pakuan, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Mereka memohon izin kepada raja hendak mendirikan sebuah gudang (loji) dan benteng di Sunda Kelapa. Gudang digunakan untuk mengumpulkan lada yang dibeli dari Pajajaran, sedangkan benteng digunakan untuk menangkis serangan Demak.

Pada 21 Agustus 1522, ditandatanganilah surat perjanjian antara Prabu Pajajaran dan utusan portugis itu. Perjanjian itu mengizinkan Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kelapa. Portugis juga diizinkan untuk melakukan pembelian lada dari Pajajaran. Setelah perjanjian itu dibuat, didirikanlah sebuah loji dan benteng kecil. Prabu Pajajaran memberi Portugis seribu karung lada (35.000 pound) setiap tahunnya agar benteng tersebut tidak hanya melindungi orang-orang Portugis, melainkan juga orang-orang Pasundan. Untuk memperingati hubungan diplomasi ini, Portugis mendirikan sebuah tugu batu peringatan di pinggir Sungai Ciliwung.

Kerajaan Demak di bawah pemerintahan Sultan Trenggono sedang berusaha untuk menaklukkan seluruh Jawa Timur. Portugis dan Pajajaran yang merasakan ancaman Demak sepakat untuk memperbesar dan memperkuat benteng yang sudah ada di Sunda Kelapa. Pemerintah Portugis di Malaka memutuskan untuk mengirim ahli perbentengan bernama Francesco de Sa pada tahun 1527 ke Pakuan.

Sementara itu, tentara Demak di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah sudah berhasil menaklukkan Banten. Mendengar kabar ini, Sultan Trenggono memberi gelar "Fatahillah" kepada Syarif Hidayatullah.

Mata-mata Fatahillah berhasil mengetahui kabar mengenai perjanjian baru yang telah ditandatangani Pajajaran dan Portugis. Utusan Portugis dari Malaka di bawah pimpinan Francesco de Sa telah berangkat meninggalkan pelabuhan Malaka menuju Sunda Kelapa. Mendengar kabar ini, Fatahilah membagi tentaranya menjadi dua. Satu angkatan laut di bawah pimpinan putranya, Hasanudin, diperintahkan untuk menghadang pasukan Portugis di Selat Sunda. Sementara itu, Fatahillah memimpin 2000 tentara Demak memasuki Sunda Kelapa. Operasi militer ini berhasil. Hasanuddin berhasil mengalahkan Portugis di ujung Selat Sunda. Fatahillah berhasil menaklukkan Benteng Sunda Kelapa dan menawan pasukan-pasukan Portugis yang berada di sana (1527). Kemudian, Fatahillah memberikan nama baru kepada Sunda Kelapa, yaitu "Jayakarta", yang berarti "kota yang menang" (jaya = menang, karta = kota).

Dari Jayakarta, ia melanjutkan penyerangannya dengan merebut Pelabuhan Cirebon. Dengan jatuhnya Banten, Sunda Kelapa dan Cirebon, Pajajaran kehilangan hampir semua akses lautnya. Hanya tinggal satu lagi, di dekat Sukabumi. Pelabuhan ini digunakan Pajajaran untuk mengirim utusan ke luar negeri secara sembunyi-sembunyi. Pelabuhan ini dinamakan Pelabuhan Ratu.

Pada 1552, Fatahillah membagi wilayahnya menjadi tiga untuk diserahkan kepada keluarganya. Banten diserahkan kepada putranya, Hasanuddin. Cirebon diserahkan kepada putranya, Pasarean. Dan untuk Jakarta, juga diserahkan kepada pangeran dari keluarganya. Setelah itu, ia mundur dari kerajaan untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan agama di sebuah bukit yang bernama "Gunung Jati" di daerah Cirebon. Beliau meninggal pada 1570 dalam usia yang lanjut.

Dokumen Aliansi (versi Portugis)[1]

Instrumento de posse que o capitao Francisco de Sa tomou do reino de Sunda em nome de el-rei D. Joao III, Sunda, 1527

Saybham quamtos este estromemto de feee (ais) e posse reeall virem que no anno do nacimemto de Nosso Senhor Jhesuu Christo de mill e quynhemtos e vimte e sete annos aos vimte e nove dias do mes de Julho do dito anno estamdo o senhor Framcisquo de Saa capitão mor desta armada surto no porto e ryo do Padrram terra e reyno de Çumda e loguo no dicto dia o dito capitam mor com todos os capitaees e fidalguos e cavaleyros e escudeyros e homens d'armas sahyo em terra com bamdeyra reeall del rey Dom Joham nosso senhor e levou huum padram de pedra de cinquo ate seis palmos em comprimento e douos (sic) ou douos e meo em larguo e de hüüa bamda hyam escopidas as quynas reeaes do dito senhor e da outra parte ha cruz de Nosso Senhor Jhesu Christo o quall dicto padram loguo perante toda ha sobredicta genete (sic) mandou chamtar em terra tomamdo posse reeall por Sua Alteza dizemdo em alta voz que ele punha aly aquele padram o tomava posse reeall em nome de Sua Alteza por o dicto reyno e terra lhe pertemcer asy por ser de sua comquista e demarcaçam como per vertude de huum comtrauto que Amrique Leme fidalguo da casa do dicto senhor fez com Ragee Mulydiar rey de Çumda na era de myll e quynhemtos e vimte e dous anos e o comceito foy que dava luguar que fizerem forta-leza e loguo se poos padram em Calapa tomamdo posse reeall por el rey nosso senhor vimdo ao hasemtar dele dous mamdaretes por mandado do rey. E asy asemtaram de dar a el rey nosso senhor duas mill sacas de pimenta e isto em memtes se ha fortaleza nam fazya e depois de feyta que darya mais o quall trebuto e vasalagem loguo no dicto anno

Terjemah :

Instrument of possession that Captain Francisco de Sa took of the kingdom of Sunda in the name of King Dom João III, Sunda, 1527

Know that all who see this tremendous act of faith and royal possession, that in the year of the birth of Our Lord Jesus Christ, in the year one thousand five hundred and twenty-seven, on the twenty-ninth day of the month of July of said year, the Lord Francisco de Saa, captain of this fleet, anchored in the port and river of Padrram, land and kingdom of Çumda.[2]

On the same day, the said captain, along with all the captains, noblemen, knights, squires, and men-at-arms, went ashore carrying the royal banner of King Dom Joham, our Lord. They also brought a stone pillar measuring five to six palms in length and two or two and a half palms in width. On one side of the pillar were carved the royal insignias of the aforementioned Lord, and on the other side was the cross of Our Lord Jesus Christ.

The said pillar was immediately presented before all the aforementioned people, and they took real possession of it in the name of His Highness, proclaiming aloud that they placed the pillar there and took real possession of the land and kingdom on behalf of His Highness, as it belonged to their conquest and demarcation by virtue of a contract made by Amrique Leme, nobleman of the house of the aforementioned Lord, with Ragee Mulydiar, king of Çumda, in the year one thousand five hundred and twenty-two.

The agreement stated that they would build a fortress and immediately place the pillar in Calapa[3], taking real possession for the king. And they also agreed to give two thousand sacks of pepper to our Lord the king, and this tribute and vassalage would continue after the completion of the fortress. All of this happened in the said year.

  1. https://twitter.com/toniocampolopez/status/1659105910952689666?s=20
  2. Çumda adalah ejaan Portugis untuk Sunda
  3. Calapa adalah ejaan Portugis untuk (Sunda) Kelapa