Turki

From   

Muhammad V

Naik takhtalah sultan yang telah lama kehilangan kekuatan batin itu karena tekanan-tekanan dari saudaranya, Abdul Hamid. Keadaan sultan yang demikian, ditambah lagi dengan telah diakuinya undang-undang dasar, ditambah pula dengan kegiatan pemimpin Partai Ittihad wat Taraqqi (İttihad ve Terakki Fırkası / Committee of Union and Progress) yang memegang kendali pemerintahan dengan keras, sultan sudah seakan-akan menjadi lambang kerajaan saja. Tidak ada tindakan yang dapat diambilnya sendiri.

Yaman

Pada tahun 1911 (1329 hijriah), timbullah pemberontakan di Yaman. Imam Yahya Hamiduddin, imam dan raja penganut paham Zaidiy di Yaman, memberontak melepaskan diri dari kekuasaan Turki. Satu angkatan perang Turki yang besar dikirim ke sana untuk memadamkan pemberontakan itu hingga masuk ke Syria dan Shan'a di bawah pimpinan Jenderal Izzat Pasya. Akan tetapi, Imam Yahya pun melawan dengan serba gagah perkasa sehingga akhirnya terpaksa diadakan perdamaian. Diakuilah kekuasaan Imam Yahya dan akibatnya kekuasaan Turki hanya meninggalkan Kota Shan'a dan Ta'az.

Beberapa tahun kemudian, setelah pecah Perang Dunia I, Imam Yahya dapat merebut Shan'a dan memindahkan kekuasaannya ke sana. Pemberontakan ini diikuti pula oleh Kurdistan. Setelah itu, Albania dan beberapa negeri di sekelilingnya, semuanya meminta menanggalkan pemerintahan sentralisasi. Setelah undang-undang dasar ditambah beberapa pasal, barulah pemberontakan itu berhenti.

Tripoli

Pada tahun 1912, dengan tidak memaklumatkan perang terlebih dahulu, Italia memasuki Tripoli dan menenggelamkan dua buah kapal dagang Turki yang sedang berlabuh di Pelabuhan Beirut. Tentara Italia masuk ke Tripoli dan Barkah. Karena pertahanan Turki amat lemah di tempat itu, langsunglah mereka masuk. Dengan segera dikirimkan tentara ke sana, di bawah pimpinan Anwar Pasya, dan diikuti juga oleh Kemal Pasya "at-Taturk". Rakyat Arab Tripoli mencoba mempertahankan tanah airnya di bawah pimpinan kaum Sanusi -- suatu paham pembaharuan Islam yang asal mulanya dari gerakan tasawuf yang didirikan oleh Imam Said Syarif as-Sanusi -- bersama dengan tentara sukarela Arab. Terjadilah perang yang hebat di sana.

Balkan

Ketika seluruh tenaga dihadapkan hendak mengusir Italia dari Tripoli, tiba-tiba timbullah pemberontakan di Balkan. Negeri Bulgaria, Servia, Montenegro dan Yunani bersekutu melawan Turki. Tentara di Tripoli terpaksa ditarik mundur untuk dipindahkan ke sana. Dalam peperangan di Balkan itu, nyata sekali adanya sokongan - sokongan kerajaan Barat yang bertumpuk-tumpuk di sana, yang bermaksud hendak mengusir habis bangsa Turki, yang mulanya dari wilayah mereka, dan kedua, dari seluruh Eropa.

Pemberontakan melawan Gerakan Nasionalisme

Gerakan Partai Ittihad wat Taraqqi kian lama rupanya kemasukan paham nasionalisme Barat secara sempit. Mereka hendak mendasarkan perjuangan Turki pada kebangsaan Turki dan hendak membersihkannya dari unsur-unsur bangsa lain, terutama bangsa Arab. Oleh karena itu, perubahan baru karena revolusi tahun 1909 (31 March Incident) yang dipimpin Mahmud Syaukat Pasya (Mahmud Shevket Pasha) telah digunakan untuk menyingkirkan unsur Arab. Padahal, bangsa-bangsa pemeluk Kristen di Balkan telah melepaskan diri dari kesatuan dan berdiri sendiri. Sikap pengemukaan teori "pembersihan Turki" ini tentu saja kian lama menimbulkan prasangka bangsa Arab, apalagi bangsa mereka selama ini kurang mendapat perhatian dari pusat. Timbullah gerakan-gerakan rahasia yang meminta otonomi yang luas.

Demikianlah keadaan Kerajaan Turki di bawah pimpinan Partai Ittihad wat Taraqqi pada tahun 1912 dan 1913. Kas negara telah kering karena membelanjai perang. Tentara tidak pernah beristirahat, dan dalam peperangan itu telah lebih banyak yang kalah daripada menang. Di dalam negeri diancam oleh perpecahan, sedangkan rencana yang tegas tidak ada. Tiba-tiba, terbunuhlah Putra Mahkota Kerajaan Oostenriyk Hongaria di Serayevo dan pecahlah Perang Dunia I (1914).

Sudah bertahun-tahun Partai Ittihad wat Taraqqi lebih condong kepada Jerman -- pernahlah Kaisar Wilhelm II disambut secara besar-besaran di Istambul dan sampai sekarang (1960an) masih tertinggal tugu peringatan kedatangan baginda di sana. Turki memihak ke kerajaan tengah (poros) yang terdiri dari Jerman dan Oostenriyk Hongaria, menentang kerajaan serikat yang terdiri dari Inggris, Rusia, Prancis dengan kerajaan-kerajaan lainnya.

Pemuka kaum Ittihat wat Taraqqi ialah Anwar Pasya, Thalaat Pasya dan Jamal Pasya. Ketika Jamal Pasya menjadi gubernur militer di Damaskus, Suriah, ia menangkap pemuda-pemuda dan pemimpin Arab yang meminta agar Suriah (Syam) diberi kemerdekaan yang luas agar mereka dapat mempertahankan tanah airnya. Akan tetapi, perjuangan mereka yang sah itu telah disambut dengan tindakan yang sangat kejam. Mula-mulanya, opsir-opsir Arab dalam tentara Turki dikirim ke medan perang di garis depan, sehingga terpisah dari kampung halamannya. Kemudian, ditangkapilah pemuka-pemuka yang masih tertinggal. Dengan tidak diadakan pemeriksaan kehakiman lagi, mereka digantung semua. Karena tindakan itu, bukanlah ketakutan yang timbul dalam hati bangsa Arab, akan tetapi dendam yang sangat mendalam.

Hijaz

Ketika Syarif Husain, Amir Mekah, memaklumatkan kemerdekaan Hijaz dan memproklamirkan diri sebagai Raja Hijaz, lalu menghadapkan senjata melawan Turki yang masih menduduki Hijaz, meletuslah pemberontakan yang bermula di Mekah. Mereka mengepung benteng pertahanan Turki di Jijad. Karena pimpinan tentara di sana tak sampai hati, kalau-kalau peluru meriam mengenai Ka'bah, tidaklah gigih mereka bertahan. Orang Arab menyerbu, banyaklah tentara Turki terbunuh, sedangkan selebihnya tertawan.

Kemudian, putra Syarif Husain yang bernama Ali (Amir Madinah) memberontak pula melawan tentara Turki di sana, di bawah pimpinan Fakhri Pasya. Akan tetapi, pengepungan itu tidaklah berhasil sebab kuatnya pertahanan Turki.

Sehabis perang dan kalahnya Turki, barulah Jenderal Fakhri Pasya itu menyerahkan pedangnya tanda tunduk. Gerakan di Hijaz ini lebih banyak mendapat bantuan Inggris, terutama karena usaha dari seorang pengembara Inggris yang terkenal, bergelar Raja Arab yang tidak bermahkota, Lawrence.

Muhammad VI

Pada tahun 1918, menjelang kekalahan Turki pada Perang Dunia I, meninggallah Sultan Muhammad V. Beliau diganti dengan Muhammad Wahiddin dengan gelar Muhammad VI.

Sudah jelas bahwa pertahanan Turki yang gagah perkasa, yang senantiasa terkenal gilang gemilang dalam sejarah -- dan diakui sendiri oleh musuh-musuhnya -- sudah tidak akan berfaedah lagi. Keberanian putra Turki tidak akan dapat lagi mempertahankan keruntuhan. Komando kerajaan serikat pun menyusun pukulan terakhir agar Turki tidak dapat bangun lagi.

Palestina

Pada waktu itu, dibuatlah perjanjian dengan Amir Faisal (Faisal I of Iraq) , putra Husain, bahwa ia akan memimpin satu angkatan perang Arab, dimulai dari Abu Asal, melalui Tul Syihab di Hauran, untuk memotong garis tumpuan belakang tentara Turki. Ketika Amir Faisal memulai memimpin tentara menurut garis yang telah ditentukan, tentara Inggris di bawah pimpinan Lord Ellenbey (Edmund Allenby, 1st Viscount Allenby) memasuki Palestina. Baru saja ia masuk ke daerah tanah suci itu, di dekat Baitul Maqdis, dengan sangat terharu, terlompatlah dari mulutnya suatu perkataan yang sebenarnya telah beratus tahun tersembunyi dalam dada bangsa-bangsa Eropa. Katanya, "Sekarang barulah selesai Perang Salib!"

Setelah menduduki Palestina, tentara Inggris meneruskan pendudukannya atas daerah-daerah di sekitarnya. Adapun tentara Arab, di bawah Komando Faisal, telah berhasil memutuskan jalan kereta api yang disiapkan Turki sebagai jalan untuk mengundurkan diri, yaitu 10 kilometer dari utara Dar'ah. Faisal dibantu oleh kapal udara Inggris, sehingga tentara Turki menjadi kocar - kacir. Dengan pertolongan tentara Arab. Tegasnya, dengan pertolongan bangsa Arab sendiri, negeri-negeri Arab, yaitu Syam, dapat diduduki semua, bersamaan dengan pendudukan Irak. Adapun Palestina, sebelum diduduki, telah diberikan janji yang tegas oleh Lord Belfour Menteri Inggris akan dijadikan tanah air kaum Yahudi.

Hari demi hari, nyatalah bahwa Tanah Arab diduduki bukanlah untuk dimerdekakan, melainkan untuk dipecahkan dan dikuasai. Syarif Husain (Hussein bin Ali, King of Hejaz), setelah memaklumatkan diri menjadi Raja Hijaz, dan memakai pula gelar Raja Arab yang terbesar, kian hari kian nyata bahwa kekuasaannya tidaklah boleh lebih daripada Hijaz.

Amir Faisal, yang dengan usahanya sendiri telah memerdekakan Syam dari tangan Turki, diangkat oleh rakyat Syam (Suriah) menjadi Raja Suriah, beberapa hari saja setelah ia sampai di Damaskus. Kemudian, ternyata pengangkatan ia menjadi raja di Suriah tidaklah sekali-kali diniatkan oleh Inggris dan Prancis. Karena rupanya sudah ada janji rahasia Inggris dan Prancis bahwa Tanah Syam akan dibagi dua, yaitu bagian Palestina untuk Inggris dan Suriah Libanon untuk Prancis.

Kedatangan Sekutu di Istambul

Seluruh kekuatan Turki telah habis. Ketika tentara serikat mendarat di ibu kota kerajaan Utsmaniyah, Kota Istambul yang indah permai tidaklah dapat dipertahankan lagi. Pertahanan paling akhir hanyalah dendam yang tidak keluar dari mulut bangsa singa yang telah kehilangan taring dan kuku. Mulut meriam kapal-kapal sekutu dihadapkan ke darat. Ke puncak menara masjid-masjid yang menjulang ke awan. Anwar Pasya, Tab'at Pasya dan Jamal Pasya telah menyingkirkan diri ke luar negeri. Kelak, Thab'at dan Jamal meninggal dibunuh orang. Sedangkan Anwar (Enver Pasha) meninggal di Bukhara ketika bertempur dengan Rusia.

Tinggallah sultan, laksana terkurung dalam istana. Tentara serikat pun dengan gagah perkasa menyampaikan perintahnya kepada sultan agar dibentuk satu kabinet yang baru, yang harus terdiri dari orang-orang yang dipandang pro-sekutu. Kerajaan sekutu tidak mau merampas dan menguasai Konstantinopel, sebuah pusaka Byzantium yang telah hilang dari tangan mereka 500 tahun yang lalu, demi menjaga keseimbangan kekuasaan antaranya dan mereka. Akan tetapi, kedudukan Sultan Turki di sana hanya akan dijadikan semacam boneka belaka.

Akan tetapi, di daerah Anatoli, timbullah gerakan baru dan semangat baru. Terdiri dari pahlawan-pahlawan dan pemimpin angkatan muda Turki yang tidak bersedia menerima kekalahan dan penghinaan itu. Mereka telah menyusun kekuatan di bawah pimpinan Fauzi Pasya dan Kazim Pasya, dua jenderal Turki yang tidak mau menyerah.